Sabtu, 02 April 2011

Penyebab Masyarakat Jawa Memiliki Tingkat Emosional Tinggi yang Bertolak Belakang Dengan Budayanya


MAKALAH SOSIOLOGI

Penyebab Masyarakat Jawa Memiliki Tingkat Emosional Tinggi yang Bertolak Belakang Dengan Budayanya







Nama : M.Rudianto
Kelas  : XI IPS II
No      :22


SMA 1 RANDUBLATUNG
Jalan Blora No.37 Wulung Randublatung 58382
Tahun Ajaran 2010/2011




A.Konflik Masyarakat Jawa
Masyarakat suku Jawa merupakan masyarakat yang memiliki ciri budaya timur yang sangat kental. Kebudayaan halus dan bertoleransi tinggi merupakan ciri khas dari masyarakat Jawa. Disamping itu,masyarakat jawa juga memiliki semangat untuk terus memajukan masyarakatnya. Akan tetapi, jika terjadi ketidakharmonisan pada masyarakat jawa maka akan terjadi pertikaian atau konflik besar.
Sebagai contoh kasus-kasus kerusakan yang terjadi di tahun 1998 yang melanda kota Jakarta dan Surakarta, Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan yang terjadi di Indonesia pada 13 Mei - 15 Mei 1998, khususnya di ibu kota Jakarta namun juga terjadi di beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998.Pada kerusuhan ini banyak toko-toko dan perusahaan-perusahaan dihancurkan oleh amuk massa — terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa[1]. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Bandung, dan Surakarta. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut[2][3]. Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. Tak hanya itu, seorang aktivis relawan kemanusiaan yang bergerak di bawah Romo Sandyawan, bernama Ita Martadinata Haryono, yang masih seorang siswi SMU berusia 18 tahun, juga diperkosa, disiksa, dan dibunuh karena aktivitasnya. Ini menjadi suatu indikasi bahwa kasus pemerkosaan dalam Kerusuhan ini digerakkan secara sistematis, tak hanya sporadis.
Amuk massa ini membuat para pemilik toko di kedua kota tersebut ketakutan dan menulisi muka toko mereka dengan tulisan "Milik pribumi" atau "Pro-reformasi". Peristiwa ini mirip dengan Kristallnacht di Jerman pada tanggal 9 November 1938 yang menjadi titik awal penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi dan berpuncak pada pembunuhan massal atas mereka di hampir seluruh benua Eropa oleh pemerintahan Jerman Nazi.
Sampai bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia belum mengambil tindakan apapun terhadap nama-nama besar yang dianggap provokator kerusuhan Mei 1998. Bahkan pemerintah mengeluarkan pernyataan berkontradiksi dengan fakta yang sebenarnya yang terjadi dengan mengatakan sama sekali tidak ada pemerkosaan massal terhadap wanita keturunan Tionghoa disebabkan tidak ada bukti-bukti konkret tentang pemerkosaan tersebut.
Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari ini. Namun demikian umumnya orang setuju bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian terhadap orang Tionghoa.



B. Deskripsi Penyebab Masyarakat Jawa Memiliki Tingkat Emosional Tinggi
Suku Jawa merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia merupakan etnis Jawa. [1] Selain di ketiga propinsi tersebut, suku Jawa banyak bermukim di Lampung, Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara. Di Jawa Barat mereka banyak ditemukan di Kabupaten Indramayu dan Cirebon. Suku Jawa juga memiliki sub-suku, seperti Osing dan Tengger. Akan tetapi, jika terjadi ketidakharmonisan pada masyarakat jawa maka akan terjadi pertikaian atau konflik besar.Pemicunya adalah sikap emosional.
Emosi adalah reaksi tubuh menghadapi situasi tertentu. Sifat dan intensitasnya berkait erat dengan aktivitas kognitif (berpikir) manusia sebagai hasil persepsi terhadap situasi. Emosi adalah hasil reaksi kognitif terhadap situasi spesifik. Emosi merupakan hasil proses persepsi terhadap situasi.
Mengacu kepada definisi Du Preez itu, maka emosi manusia berkait dengan tiga aspek penting, yaitu persepsi, pengalaman, dan proses berpikir, yang bisa membuat seseorang mudah marah, menuduh, bahkan memfitnah. Sebaliknya, tiga aspek itu bisa membuat seseorang tenang-tenang atau santai-santai saja menghadapi situasi seperti apa pun.
Menurut referensi, secara fisiologis emosi terdapat pada salah satu bagian dari sistem limbik, yaitu otak kecil di atas tulang belakang, di bawah tulang tengkorak. Sistem tersebut memiliki tiga fungsi, yaitu mengontrol emosi, seksualitas, dan pusat-pusat kenikmatan, yang merupakan hal paling penting dalam perkembangan otak. Kemampuan seseorang dalam mengendalikan dan mengelola emosi merupakan faktor penentu keberhasilan atau kesuksesan dalam berbagai aspek kehidupan.
Dalam kehidupan masyarakat Jawa, emosi itu penting; antara lain tampak dalam pola pikir inward looking, bukan outward looking. Maknanya, kalau ada situasi yang menimpa, maka reaksi awal yang muncul adalah melihat diri sendiri; introspeksi apa yang telah dilakukan, yang mungkin menjadi penyebab. Dikenallah istilah-istilah umpan papan, angon wektu, ngemong rasa, mulat sarira, dan seterusnya.
Mawas diri merupakan bagian dari pengelolaan diri khas Jawa, dalam rangka self examination, self control, self assesment, self monitoring. Budaya Jawa mengacu kepada “rasa” (lebih dalam dari sekedar perasaan), tidak mengabaikan intuisi selain juga bersandar kepada pikiran (rasio).
Berbagai persoalan yang muncul belakangan ini banyak berkaitan dengan masalah manajemen emosi. Ada kecenderungan kita makin tidak cerdas dalam mengelola emosi, tidak pintar mengendalikan persepsi, pengalaman, dan proses berpikir. Kita mempunyai telinga tapi tidak mendengar, dan memiliki mata tapi tidak melihat. Kita hanya mendengar yang ingin kita dengar dan melihat yang ingin kita lihat.
Di Solo ada dua pemain sepak bola berkelahi di lapangan lalu ditahan polisi. Ada juga presiden marah, karena ketika berpidato beberapa orang yang seharusnya mendengar malah mengantuk. Seorang tokoh partai mengomentari partai lain hanya akan meraih sedikit suara dalam pemilihan umum (pemilu) mendatang, kemudian petinggi partainya minta maaf. Sebaliknya, ada mantan presiden selalu berkomentar santai terhadap bermacam situasi, dengan mengatakan “gitu saja kok repot”.
Emosi memang tidak pandang bulu, bisa menimpa saja. Semua bergantung kepada persepsi, pengalaman, dan proses berpikir tiap-tiap orang.
Kekayaan bangsa yang harus kita pelihara dan kembangkan yaitu kearifan lokal Jawa yang inward looking. Pesannya adalah, kalau menghadapi situasi tertentu janganlah cepat-cepat melihat keluar, tapi lihatlah diri sendiri lebih dulu. Bukankah pesan tersebut sangat relevan ketika masyarakat dihadapkan kepada situasi spesifik menghadapi pemilu dan perekonomian yang tidak menentu ?
Insyaallah kearifan lokal itu bisa menghindarkan kita dari saling menyalahkan, saling tuduh, saling menjatuhkan, saling fitnah, dan sebagainya. Ana rembug dirembug, ana nalar dinalar.



 


Daftar Pustaka
http://www.iradisa.com/emosi
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_%281966-1998%29







-SEKIAN-

2 komentar: